Imam Isa ar-Rumi an-Naqib
Beliau
ialah Abu Ahmad Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja'far
al-Shaddiq. Imam Isa Ar-Rummi mempunyai 30 orang anak lelaki diantaranya
adalah Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyin
di Hadramaut. Beliau
seorang imam besar ilmu agama, dibesarkan dan dididik ilmu hadits, ilmu
fiqih dan ilmu agama lain oleh ayahnya Imam Muhammad bin Ali
al-Uraidhi. Imam
Isa bin Muhammad mempunyai kulit berwarna putih kemerah-merahan yang
merupakan sebaik-baiknya warna, sebagaimana perkataan Imam Ali bahwa
warna kulit Rasulullah adalah putih kemerah-merahan.[2] Beliau
juga dinamakan al-Rumi dan al-Naqib[3], karena beliau mempunyai rupa
putih kemerah-merahan seperti pria yang berasal dari negeri Rum,
sedangkan sebutan al-Naqib disebabkan kedudukannya sebagai pemimpin para
kaum syarif yang selalu menjaga dan menjamin keamanan kaumnya, nama
beliau juga merupakan nama salah satu nabi yaitu nabi Isa alaihi salam.
Adapun gelar yang lain yaitu al-Azraq, karena beliau mempunyai mata yang
berwarna biru. Imam Isa bin Muhammad wafat sekitar tahun 270 hijriyah
di Basrah, Iraq.[4] Imam al-Rumi dikaruniai tiga puluh orang anak
laki-laki dan lima orang anak perempuan, diantaranya adalah Imam Ahmad
al-Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyin di Hadramaut. Adapun anak laki-laki Imam Isa al-Rummi adalah :[5] a.
Abdullah, Abdurahman, Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ahwal, Abdullah
al-Asghor, Daud, Yahya, Ali, Abbas, Yusuf, Hamzah, Sulaiman. Mereka
tidak mempunyai keturunan. b. Ismail, Zaid, Qasim, Hamzah,
Harun, Yahya, Ali, Musa, Ibrahim, Ja’far, Ali al- Asghor, Ishaq, Husin,
Abdullah, Muhammad, Isa, Ahmad al-Muhajir. Pemberontakan Zinji. Pemberontakan
Zinj dimulai tahun 255 hijriyah pada masa khalifah Abbasiyah
al-Muhtadi, yang dilakukan oleh orang-orang Zinj[6], yaitu sekelompok
budak asal Afrika, yang menimbulkan rasa takut dan ancaman terhadap
pemerintahan Abbasiyah selama lebih dari empat belas tahun. Mereka
dipimpin oleh seorang lelaki asal Persia bernama Ali bin Muhammad,
seorang yang berasal dari keluarga Thalifan. Dia mengaku bahwa dirinya
adalah keturunan Ali Zainal Abidin bin Husein. Di samping itu, dia juga
mengaku mengetahui yang ghaib dan mendapat karunia kenabian serta secara
terang-terangan mengaku beraqidah sebagaimana aqidah orang-orang
Khawarij. Strategi yang diambil Ali bin
Muhammad adalah menyerukan pembebasan budak. Maka, banyaklah orang yang
bergabung dengannya sehingga pengaruhnya semakin besar. Dia datang ke
Iraq dan Bahrain kemudian menuju Baghdad pada tahun 254 hijriyah. Dia
membangun sebuah kota untuknya yang dinamakan al-Mukhtarah (Selatan
Baghdad). Pasukannya menyebar di Iraq, Khazastan, dan Bahrain. Mereka
menguasai kapal-kapal jamaah haji. Setiap
memasuki sebuah kota, mereka akan menghancurkan kota itu dan membunuh
semua penduduknya. Dalam beberapa kali peperangan mereka berhasil menang
terhadap pasukan Abbasiyah. Bahkan, mereka mampu menguasai Ablah sebuah
kota di Persia, demikian pula dengan Ahwaz, Abadan, Basrah pada tahun
257 hijriyah dan Wasith pada tahun 267 hijriyah. Maka
khalifah Bani Abbasiyah al-Mu’tamid keluar dan langsung memimpin
pasukannya. Dia berhasil mengusir mereka dari Ahwaz. Kemudian
al-Mu’tamid mengepung al-Mukhtarah dan berhasil membunuh pemimpinnya
yang keji. Sementara itu, orang-orang yang selama ini bersamanya
meninggalkannya. Pemberontakan ini berakhir pada tahun 270 hijriyah.
Menurut riwayat Ibnu Thabathaba al-Fajri, peperangan ini menelan korban
sebanyak dua juta lima ratus orang. Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi
dalam Tarikh al-Khulafa halaman 224, korban yang jatuh adalah satu
setengah juta.[7] Gerakan Qaramithah. Qaramithah
berawal dari nama Hamdan Qarmath yang menjadi pendiri golongan ini.
Tujuannya dalam bidang kemasyarakatan ialah untuk membangun satu
masyarakat yang mengarah kepada kebersamaan dan keadilan yang didasarkan
pada persamaan. Sedang tujuannya dalam gerakan politik ialah mendukung
dinasti Fathimiyah.[8] Gerakan Qaramithah lahir
diawali oleh pemberontakan yang dilakukan Hamdan Qarmath di luar kota
Wasith setelah berakhirnya pemberontakan Zanj. Dia memimpin gerakan ini
di Kufah pada tahun 277 hijriyah. Gerakan mereka meluas hingga ke Syam,
Iraq, Yaman dan Hijaz. Pada tahun 283 hijriyah gerombolan ini bergerak
menuju Basrah di pimpin oleh Abu Said al-Janabi. Tapi gubernurnya, Ahmad
al-Watsiqi, sudah membentengi kota itu dengan tembok yang kuat. Ia
mengirim pasukan yang kuat untuk menghadapi pasukan Abu Said di luar
kota. Pasukan Abu Said berhasil dihancurkan, dan Abu said mati terbunuh
dalam pertempuran itu. Setelah Abu Said al-Janabi tewas, ia diganti oleh
puteranya Sulaiman yang terkenal dengan Abu Thahir. Di bawah
pimpinannya, gerakan Qaramithah menjadi lebih kuat, banyak qabilah Arab
masuk di dalam barisannya. Pada tahun 307 hijriyah pasukan Sulaiman
menyerang dan menduduki Basrah, gerakan ini melakukan pembantaian
besar-besaran. Di kota inilah pasukannya melakukan segala tindakan
kejahatan, membunuh, merampas harta benda dan memperkosa.[9] Di Bahrain,
ia membangun kota Ahsa, untuk dijadikan ibukota pemerintahannya. Tahun
317 hijriyah, Abu Thahir menyerang kota Mekkah, membunuh jamaah haji
secara kejam dan merampas harta benda mereka. Ia menyerbu Ka’bah dan
menanggalkan kiswah (kain penutup)nya. Ia perintahkan supaya kiswah itu
dibagikan kepada sahabatnya. Abu Thahir juga memindahkan Hajar al-Aswad
ke Ahsa, dan dikembalikan ke Mekkah setelah dua puluh tahun berada di
Ahsa, atas perintah dinasti Fathimiyah. Pada
tahun 462 hijriyah Abdullah Uyuni berhasil menang atas pasukan
Qaramithah berkat bantuan pemerintahan Bani Abbasiyah dan orang-orang
Saljuk. Maka, diusirlah mereka dari Bahrain. Akhirnya, terjadilah perang
parit di Ahsa dan mereka dapat dikalahkan oleh al-Uyuni. Selanjutnya
pemerintahan digantikan oleh Bani Uyuniyah. Basrah, Khasanah al-Arab. Kota
Basrah dibangun pada tahun 16 hijriyah pada masa pemerintahan khalifah
Umar bin Khattab, setelah wilayah Iraq dikuasai oleh tentara Islam di
bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqas tahun 15 hijriyah. Lokasi
pembangunan kota Basrah ditetapkan sendiri oleh khalifah Umar di daerah
Kharibah yang berdekatan dengan kota pelabuhan Ubullah di teluk Persia.
Arsitekturnya dipercayakan kepada Utbah bin Gazwan yang memperkerjakan
delapan ratus pekerja. Utbah menamakan kota yang dibangunnya itu menurut
nama bahan yang digunakan untuk membangun kota itu, yaitu al-Basrah,
sejenis kain putih. Selama pemerintahan
khalifah Umar, Basrah menjadi markas tentara Islam. Umat Islam kota
Basra dan kota Kufah berjasa menaklukkan daerah-daerah Persia, Khurasan
dan Samarkand pada masa Umar dan sesudahnya. Dalam perkembangannya,
setelah banyak didatangi para pedagang, Basrah menjadi pusat
perdagangan, baik pada masa khulafa’ al-Rasyidin berikutnya, maupun pada
masa dinasti Umayah dan Abbasiyah. Untuk
mengajarkan Islam kepada penduduk Basrah, khalifah Umar mengirimkan
ulama-ulama dari Madinah ke kota itu, antara lain Abu Musa al-Asy’ari.
Sejak itu sampai di masa pemerintahan Umayah dan Abbasiyah, Basrah
menjadi salah satu pusat pendidikan di dunia Islam. Para siswa
berdatangan ke kota itu untuk mempelajari berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Kota itu menjadi tempat bertemunya kebudayaan Persia dan
Arab. Ketika ilmu pengetahuan dan peradaban Islam mencapai puncak
kemajuan dengan berpusat di Baghdad, Basrah menjadi pusat kajian bahasa
Arab, sastra dan sains yang penting, serta menjadi tempat berkumpulnya
para pujangga Arab, sehingga kota itu disebut khasanah al-Arab. Sebagai
kota ilmu pengetahuan, bahasa dan sastra, kota Basrah telah melahirkan
sejumlah ulama, tokoh pemikir dan penyair. Ulama yang terkenal antara
lain Amr bin al-Ula, Yunus bin Habib, Isa bin Amr, al-Khalil bin Ahmad
bin Amr, dan al-Asmai serta Sibawaihi. Tokoh pemikirnya antara lain
Hasan al-Basri dan Wasil bin Atha’. Adapun penyairnya antara lain
Farazdaq, Bisyar bin Bard, Muslim bin Wahid dan Abu Nawas.[10] Beliau
adalah seorang yang sangat gemar menuntut ilmu, sehingga beliau dapat
menguasai berbagai macam keutamaan dan ilmu. Beliau juga adalah seorang
yang dermawan, tempat meminta fatwa dan tinggi kedudukannya. Beliau
beberapa kali menikah sehingga dikaruniai banyak anak. Beliau meninggal
di kota Basrah. Beliau meninggalkan 30 orang putra dan 5 orang putri. [Disarikan
dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin
Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain
Alhabsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi
Ibnu Ahmad Bilfaqih] [1] Muhammad bin Ali al-Khirrid, Op Cit, hal. 334. Dalam kitab Syarh al-Ainiyah halaman 128 diberi gelar Abu al-Husein. [2]Muhammad bin Abubakar al-Syilli. Op Cit, hal. 78. [3]
Salah satu nama Nabi saw adalah al-Naqib. Hal itu dikarenakan, ketika
pemimpin Bani Najjar, Abu Umamah As’ad bin Zararah meninggal dunia,
mereka meminta Rasulullah saw sebagai pengganti dan tidak mau menerima
orang lain. Nabi saw berkata, ‘Saya adalah pemimpin kamu‘. (Muhammad bin
Abubakar al-Syilli, al-Masyra’ al-Rawi, hal 78) [4] Muhammad bin Ali al-Khirrid, Op Cit, hal. 335. [5]ِl-Masyhur, Op Cit, hal. 49. [6] Muhammad Dhiya’ Syahab & Abdullah Bin Nuh. Al-Imam Muhajir, hal. 21. [7] Ahmad al-Usairy.Sejarah Islam, hal. 250. [8] Nourouzzaman Shiddiqi. Syi’ah Dan Khawarij, hal. 21. [9] Abdullah Annan. Gerakan-gerakan Yang Menguncang Islam, hal. 111. [10] Ensiklopedi Islam, hal 244. |
Komentar
Posting Komentar