Sayid Muhammad Maulad Dawilah
Banyak Menerima Karunia Allah SWT Setiap
namanya disebut, maka setiap orang yang mendengar akan senang hatinya.
Ia adalah sosok auliya yang paling banyak menerima karunia-karunia Allah
SWT Ia dikenal hafal separuh Al-Qur’an, tetapi
anehnya jika ada yang keliru dalam bacaannya pada separuh bagian kedua,
maka ia dapat mengingatkan bacaan yang keliru itu, sehingga pembacanya
akan mengulangi bacaan yang keliru itu. Ulama
itu adalah Sayid Muhammad Maulad Dawilah, nama lengkapnya adalah Sayid
Muhammad Maulad Dawilah bin Imam Ali bin Alwi Al-Ghuyur bin Al-Faqih
Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali’
Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam
Al-Muhajir Ahmad bin Isa, dan terus bersambung nasabnya sampai
Rasulullah SAW. Muhammad Maulad Dawilah lahir dan dibesarkan di kota Tarim. Sejak kecil, ia telah ditinggal mati sang ayahnya. Sehingga
ia diasuh dan dibesarkan oleh sang paman, Sayid Abdullah. Selama dalam
asuhan sang paman itulah ia benar-benar mendapatkan pendidikan dan
asuhan yang terbaik. Maka wajarlah bila dalam usia remaja ia telah
mempunyai ilmu yang tinggi, manis budi pekerti dan ketakwaan yang
tinggi. Sebagaimana para ulama dan auliya’ dari
Hadramaut. Ia juga suka berkelana ke berbagai negeri untuk beribadah
dan menimba ilmu. Sewaktu menunaikan ibadah haji dan umrah, ia
menyempatkan diri untuk mukim di Madinah sembari belajar agama,
khususnya bidang fiqh. Tidak banyak disebutkan, ia belajar tentang dunia
tulis menulis, tetapi setiap ilmu syariat yang ia pelajari maka ia
selalu mengamalkannya. Karena itu, tidak heran bila ia mendapat
kemuliaan seperti yang didapat para ulama kenamaan. Ia
adalah sosok ulama yang tawadhu’, banyak melatih diri dan membebaninya
dengan berbagai amal kebajikan dan ibadah. Kebanyakan amalan yang ia
lakukan adalah amalan yang berhubungan dengan hati, bahkan ia selalu
menyembunyikan amal-amal ibadahnya dari manusia yang lain, lebih-lebih
dari keluarganya sendiri. Pada umumnya ia suka
mengasingkan diri di tengah padang pasir atau di dusun yang tidak
berpenghuni. Karena itu, ia banyak mendapatkan keistimewaan atau yang
lebih dikenal dengan karamah dari Allah SWT. Diantara karamah yang ia
miliki yakni ia dapat menuturkan berbagai masalah dalam hukum-hukum
syariat dan hakekat sampai kepada akar-akarnya yang paling bawah.
Alkisah, ketika salah seorang puteranya bertanya tentang kebolehan yang
ia katakan, maka ia berkata,”Kami tidak menuturkan suatu masalah kecuali
kami telah melampui batas-batas alam dunia dan akhirat, pada mulanya
kami lampui 93 batas-batas alam dunia dan akhirat, kemudian
alam akhirat sampai wujud keduanya terasa tidak ada di hati kami selain
hanya wujud Allah, maka di saat itulah timbul rasa rindu.” Selanjutnya,
ia menuturkan bait-bait puisi, ”Ketika kami tiba di majelis untuk
bersenang-senang maka terpancarlah cahaya bagi kami dari alam gaib.”
Sampai di akhir bait puisinya. Selanjutnya ia
memilih sebuah tempat terpencil di dekat pekuburan Nabi Hud As, nama
tempat itu adalah Yabhar. Ia memilih tempat tersebut karena ada sebuah
telaga air. Ia kemudian membangun tempat tinggal di sekitar tempat itu. Langkah
ini dikuti oleh pengikut-pengikutnya, sehingga tempat yang sebelumnya
di kenal sebagai tempat terpencil lambat laun kemudian berkembang
menjadi ramai. Pemukiman kecil yang semula hanya terdiri dari beberapa
keluarga kecil saja, makin lama berkembang menjadi sebuah desa yang
maju, tempat itu dinamakan Yabhar Dawilah. Sayid Muhammad
Maulad Dawilah ini adakalanya melakukan hal-hal yang aneh. Sesekali ia
mengenakan pakaian-pakaian yang mewah, seperti pakaian-pakaian yang
dipakai kaum penguasa, tetapi adakalanya ia mengenakan pakaian
compang-camping seperti yang dikenakan oleh kaum fakir miskin.
Adakalanya ia berusaha mendekatkan diri dengan kaum penguasa, tetapi
adakalanya ia menjauh dari penguasa dan mendekati orang-orang lemah yang
tidak mampu. Adakalanya ia membebani hidupnya dengan berbagai amal
kebajikan dan ibadah. Diantaranya ia bangun malam dan puasa. Dikisahkan,
ia melakukan shalat Subuh dengan wudhu untuk Isya’. Kebiasaan ini
berjalan selama dua puluh tahun. Ia juga membiasakan berpuasa empat
puluh hari berturut-turut di musim panas. Karena besarnya peningkatan
ibadah-ibadahnya, maka ia mendapatkan berbagai macam karamah dan
keistimewaan yang luar biasa dari Allah SWT. Terhadap
karamah dan karunia yang diterimanya itu, ia pernah berkata,”Biasa kami
menyebut Allah dengan lisan dan hati. Kemudian, bentuk-bentuk huruf
yang terucap dengan lisan itu lenyap, yang tersisa hanyalah cahaya yang
memancar di dalam hati hingga sampai ke hadirat Allah.” Nasehat-nasehat
yang sangat bermakna diantaranya,”Sesungguhnya aku tidak takut menjadi
miskin, sebab aku yakin bahwa karunia yang ada di sisi Allah lebih dekat
dari apa yang ada di tanganku. Sesungguhnya aku tidak membenci
kematian, sebab seseorang yang membenci kematian maka ia membenci untuk
bertemu dengan Allah. Aku tidak pernah membenci tamu meskipun aku tidak
memiliki sesuatu yang dapat aku berikan.” Disebutkan
suatu saat ketika ia hendak tampil menjadi imam shalat di masjid
Ba’alawi, sebagian orang mencegahnya dan salah seorang dari mereka
berkata dengan ketus kepadanya, ”Engkau seorang Arab dusun, engkau tidak
pantas menjadi imam!” Setelah selesai
mengimami shalat, maka beliau dengan sangat tenang dan santun kemudian
menerangkan sebuah surat di Al-Qur’an dengan keterangan yang
mempesonakan para pendengarnya. Cara penyampaian yang penuh kelembutan
dan penerangan yang gamblang membuat mereka sadar, bahwa ia adalah sosok
seorang ulama yang berilmu. Beberapa hari
menjelang kematiannya, ia pernah mengucapkan bait-bait puisi tanda
kecintaan kepada baginda Rasulullah SAW, ”Sesungguhnya setiap rumah yang
engkau (Rasul) tempati, tidak butuh adanya lampu penerangan. Wajahmu
yang bersinar adalah hujjah kami, pada hari ketika manusia mendatangkan
berbagai macam hujjah.” Dari hari ke hari ia
semakin meningkatkan ketaatannya kepada Allah, sampai saatnya tiba
berpulang ke rahmatullah pada hari Senin tanggal 10 bulan Sya’ban 965 H.
Ia dimakamkan di pekuburan Zanbal, Tarim dan makamnya banyak dikenal
dan diziarahi orang. Ia meninggalkan empat orang putera yakni Abdullah,
Ali, Alwi dan Abdurahman Assegaf. Radhiyallohu anhu wa ardhah… [Disarikan
dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub Abdullah bin
Alwi Alhaddad Ba’alawy, karya Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Zain
Alhabsyi Ba’alawy, dan Alawiyin, Asal Usul & Peranannya, karya Alwi
Ibnu Ahmad Bilfaqih,] |
Komentar
Posting Komentar